TVPOLRINews.com | Jakarta – Sebagian anak bangsa kadangkala merasa minder jika mengaku dari Indonesia saat bertemu di forum internasional. Mungkin mereka merasa karena berasal dari negara berkembang yang ketinggalan beberapa langkah dari bangsa lain.
Pada kesempatan ini, media berhasil mewawancarai Pemerhati Budaya dan Peradaban Dede Farhan Aulawi, Senin (9/12) di Jakarta. Menurut Dede, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sering mendapat predikat dari masyarakat dunia sebagai bangsa beradab dengan tingkat capaian budaya yang dinilai luar biasa. Begitu banyak kekaguman tercurah pada warisan budaya yang telah menjadi ikon nasional maupun internasional. Siapa yang tak mengenal Borobudur, Prambanan, Tongkonan, Pinisi, bahkan kini juga situs megalitik seperti Gunung Padang mendunia dan menjadi perbincangan para pakar sejarah dan peradaban manusia, ungkap Dede.
“Jejak migrasi manusia pun terlacak jelas di kepulauan Nusantara. Situs-situs kepurbakalaan seolah menjadi etalase peradaban yang menggambarkan perjalanan budaya bangsa dari era sangat tua. Era paleolitik dan neolitik sampai zaman modern yang menerpa dengan disrupsinya sehubungan dengan posisi Indonesia yang unggul secara geostrategis,” kata Dede.
Dennis Lombard seorang peneliti Perancis menisbatkan nama Nusa Jawa Silang Budaya pada kepulauan sekitar Jawa yang menjadi titik temu hampir semua peradaban dunia lintas masa. Budaya Mohenjo Daro purba, Mesopotamia, Helenis, Yudais, dan berbagai nilai peradaban lain dari berbagai lintas waktu hadir di Nusantara dan bersintesis nyaris sempurna dengan budaya awal yang tumbuh dan mengakar, sehingga tentu mempengaruhi sudut pandang dalam bernalar. Tak heran jika Dubois dan Koningswald, juga Linnaeus, serta Wallace menemukan “sepotong” museum biografi semesta di negeri ini.
Dua yang pertama adalah paleontolog, sedangkan dua yang terakhir adalah ahli ilmu hayati alias biolog. Mulai dari _Homo Wajakensis_ sampai jejak spesies yg terpisah garis geografis semua terpetakan dengan _ceta wala wala_ kata orang Jawanya di Nusantara. Demikian pula sejarah tentang bentang alam yang menandai perubahan fase stratigrafi tercetak sempurna di negeri ini.
Ada catatan dari era Jura (triassic), lalu naik turunnya permukaan laut di era Holosen, dan banyak lagi jejak geologis yang menjadikan negeri ini sebagai sebuah “sekolah alam” sekaligus diberkahi sumber daya berupa potensi cadangan hidrokarbon dan mineral. Tak pelak dari negeri cantik nan kaya potensi ini, lahir pula manusia-manusia unggul dengan kapasitas kompetensi luar biasa, terkadang jauh melampauinya di jamannya.
Lihatlah berbagai kedalaman susastra di berbagai pupuh. Lihatlah kajian literasi komprehensif sebagaimana terdapat dalam berbagai kitab lontara, sampai dasar konstitusi yang termaktub di Negarakertagama karya Empu Prapanca, juga kitab panduan fungsi eksekutif dan yudikatif kerajaan besar Wilwatikta (Majapahit) yg berjudul _Kutara Manawa Dharmasastra_, yang ditulis dan dibukukan di era kejayaan kerajaan maritim terbesar di Asia.
Siapa yang tak mengenal Empu Barada dan kewaskitaan Prabu Airlangga ? Siapa yang tak tahu catatan sejarah tentang Aki Tirem dan Kerajaan Salaka Nagara di awal abad masehi yang bahkan membuat seorang penjelajah dunia, Ptolomeus, terkagum-kagum dengan kota _Argyre_ atau kota peraknya ? Tetapi esensi dari semua kebesaran dan keadiluhungan budaya itu lah yang semestinya kita ekstrak dan elaboraso hingga menjadi energi bagi elan perbaikan diri.
Transformasi yang berabad terjadi telah menjadikan bangsa Indonesia memiliki spektrum budaya yang sedemikian heterogennya. Sebagian diantaranya harus diakui bersifat kontraproduktif. Gerusan masif terhadap nilai budaya adiluhung yang selama ini maujud dalam bentuk tata kelola perilaku akal budi, mulai terdistorsi oleh sifat hedon dan instan yang menjadi ciri dari pergeseran budaya global yang diaksepsi, bahkan diakuisisi sebagai nilai universal yang wajar jika dijadikan panutan dan kriteria indikator kemajuan. Disorientasi ini dapat dimodulasi dan tingkat capaian budaya yang dinilai luar biasa. Begitu banyak kekaguman tercurah pada warisan budaya yang telah menjadi ikon nasional. Siapa yg tak mengenal Borobudur, Prambanan, Tongkonan, Pinisi, bahkan kini juga situs megalitik seperti Gunung Padang mendunia dan menjadi perbincangan pakar juga awam.
Situs-situs kepurbakalaan seolah menjadi etalase peradaban yang menggambarkan perjalanan budaya bangsa dari era sangat tua. Era paleolitik dan neolitik sampai zaman modern yang menerpa dengan disrupsinya sehubungan dengan posisi Indonesia yang unggul secara geostrategis. Dennis Lombard seorang peneliti Perancis menisbatkan nama Nusa Jawa Silang Budaya pada kepulauan sekitar Jawa yang menjadi titik temu hampir semua peradaban dunia lintas masa.
Budaya Mohenjo Daro purba, Mesopotamia, Helenis, Yudais, dan berbagai nilai peradaban lain dari berbagai lintas waktu hadir di Nusantara dan bersintesis nyaris sempurna dengan budaya awal yang tumbuh dan mengakar, sehingga tentu mempengaruhi sudut pandang dalam bernalar. Tak heran jika Dubois dan Koningswald, juga Linnaeus, serta Wallace menemukan “sepotong” museum biografi semesta di negeri ini.
Dua yang pertama adalah paleontolog, sedangkan dua yang terakhir adalah ahli ilmu hayati alias biolog. Mulai dari _Homo Wajakensis_ sampai jejak spesies yang terpisah garis geografis semua terpetakan dengan _ceta wala wala_ kata orang Jawanya di Nusantara. Demikian pula sejarah tentang bentang alam yang menandai perubahan fase stratigrafi tercetak sempurna di negeri ini.
Ada catatan dari era Jura (triassic), lalu naik turunnya permukaan laut di era Holosen, dan banyak lagi jejak geologis yang menjadikan negeri ini sebagai sebuah “sekolah alam” sekaligus diberkahi sumber daya berupa potensi cadangan hidrokarbon dan mineral. Tak pelak dari negeri cantik nan kaya potensi ini, lahir pula manusia-manusia unggul dengan kapasitas kompetensi luar biasa, terkadang jauh melampaui jamannya.
Lihatlah berbagai kedalaman susastra di berbagai pupuh. Lihatlah kajian literasi komprehensif sebagaimana terdapat dalam berbagai kitab lontara, sampai dasar konstitusi yang termaktub di Negarakertagama karya Empu Prapanca, juga kitab panduan fungsi eksekutif dan yudikatif kerajaan besar Wilwatikta (Majapahit) yang berjudul _Kutara Manawa Dharmasastra_, yang ditulis dan dibukukan di era kejayaan kerajaan maritim terbesar di Asia itu.
Siapa yang tak mengenal Empu Barada dan kewaskitaan Prabu Airlangga ? Siapa yang tak tahu catatan sejarah tentang Aki Tirem dan Kerajaan Salaka Nagara di awal abad masehi yang bahkan membuat seorang penjelajah dunia, Ptolomeus, terkagum-kagum dengan kota _Argyre_ atau kota peraknya ? Tetapi esensi dari semua kebesaran dan keadiluhungan budaya itu lah yg semestinya kita ekstrak dan elaboraso hingga menjadi energi bagi elan perbaikan diri. Transformasi yang berabad terjadi telah menjadikan bangsa kita memiliki spektrum budaya yang sedemikian heterogennya.
Sebagian di antaranya harus diakui bersifat kontraproduktif. Gerusan masif terhadap nilai budaya adiluhung yg selama ini maujud dalam bentuk tata kelola perilaku akal budi, mulai terdistorsi oleh sifat hedon dan instan yang menjadi ciri dari pergeseran budaya global yg diaksepsi, bahkan diakuisisi sebagai nilai universal yang wajar jika dijadikan panutan dan kriteria indikator kemajuan.
Disorientasi ini dapat dimodulasi dan dikatalisa menuju arah dimana vektor dari energi kinetik perubahan akan menghasilkan resultante yang sesuai dengan jati diri bangsa yang berorientasi pada proses memuliakan dan memanusiakan manusia. Strategi kebudayaan harus mampu mengeliminir berbagai faktor distorsi dan menganalisasi segenap potensi hingga menjadi seberkas “cahaya putih” yang merupakan hasil akhir meleburnya setiap unsur dalam spektrum gelombang cahaya dengan panjang yang berbeda-beda. Karakter individu akan berkumpul menjadi karakter bangsa jika ada “fiber optic” budaya yang mampu menyatukan arah dan segenap daya menuju satu tujuan bersama.
Syaratnya memang tak mudah, setidaknya kita wajib mengenal dan memahami akar budaya bangsa yang tertempa dalam perjalanan peradaban yang telah berlangsung selama ribuan tahun, pungkas Dede. (dfa/mr)
Leave a Reply